Tfr6TUCoBUC8GSAiTUCoGfW0Gd==
Light Dark
Ketua DPD AWPI Kalbar: Oknum yang Mengaku Wartawan dan Membekingi Kejahatan adalah Ancaman Serius bagi Pers dan Negara Hukum

Ketua DPD AWPI Kalbar: Oknum yang Mengaku Wartawan dan Membekingi Kejahatan adalah Ancaman Serius bagi Pers dan Negara Hukum

×
Caption :
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Asosiasi Wartawan Profesional Indonesia (AWPI) Kalimantan Barat, Andi Firgi. Foto. Okta (SK) 
Pontianak, KALBAR (SK) — Ketua Dewan Pimpinan Daerah Asosiasi Wartawan Profesional Indonesia (AWPI) Kalimantan Barat, Andi Firgi, menyampaikan komentar keras dan kritis terkait realitas maraknya oknum yang mengaku sebagai wartawan namun diduga justru terlibat atau membekingi berbagai aktivitas ilegal. Fenomena ini dinilainya sebagai persoalan serius yang tidak hanya merusak marwah pers, tetapi juga berpotensi melemahkan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum.

Dalam pernyataannya, Andi Firgi menyoroti dugaan keterlibatan oknum-oknum yang mengaku wartawan dalam praktik-praktik ilegal, seperti pertambangan emas tanpa izin (PETI), distribusi BBM ilegal, peredaran kayu ilegal, masuknya bawang ilegal, rokok ilegal, peredaran oli palsu, hingga perjudian berkedok permainan ketangkasan. Ia menegaskan bahwa ketika ada pihak yang mengklaim identitas wartawan lalu menggunakan klaim tersebut untuk melindungi atau membungkam kritik terhadap aktivitas melawan hukum, maka yang terjadi bukanlah kerja jurnalistik, melainkan penyalahgunaan simbol profesi.

“Secara konseptual, pers adalah instrumen kontrol sosial. Oknum yang mengaku wartawan tetapi diduga membekingi PETI, BBM ilegal, kayu ilegal, bawang ilegal, rokok ilegal, oli palsu, atau perjudian berkedok permainan ketangkasan, pada hakikatnya sedang melakukan pengkhianatan terhadap fungsi pers itu sendiri,” tegas Andi Firgi.

Ia menilai, praktik semacam ini berbahaya karena menciptakan persepsi publik seolah-olah aparat penegak hukum (APH) dibuat tidak berdaya atau ‘tak berkutik’ oleh klaim profesi, relasi informal, atau simbol-simbol tertentu. Menurutnya, persepsi tersebut sangat merusak prinsip negara hukum karena menanamkan keyakinan keliru bahwa hukum dapat dinegosiasikan melalui atribut atau pengakuan sepihak sebagai wartawan.

Andi Firgi menegaskan bahwa secara yuridis tidak ada satu pun aturan yang memberikan kekebalan hukum kepada siapa pun hanya karena mengaku sebagai wartawan. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers justru mengatur bahwa kemerdekaan pers harus dijalankan dengan tanggung jawab, etika, dan kepatuhan terhadap hukum. “Jika ada oknum yang hanya mengaku wartawan lalu menggunakan klaim tersebut untuk melindungi kejahatan, maka secara moral dan hukum, klaim itu tidak memiliki legitimasi apa pun,” ujarnya.

Ia menekankan pentingnya kejujuran intelektual dalam melihat persoalan ini. Menurutnya, oknum yang mengaku wartawan namun berperilaku menyimpang bukan hanya mencoreng citra pers, tetapi juga berpotensi menghambat penegakan hukum dan merusak kepercayaan publik terhadap institusi negara. Kondisi ini, jika dibiarkan, dapat menciptakan preseden berbahaya bagi demokrasi dan supremasi hukum.

Dalam konteks internal dunia pers, Andi Firgi menegaskan bahwa DPD AWPI Kalimantan Barat memandang persoalan ini sebagai tanggung jawab kolektif insan pers. Perbedaan organisasi atau wadah profesi, katanya, tidak boleh dijadikan alasan untuk saling menutup mata. Solidaritas pers yang sejati bukanlah solidaritas membela oknum yang mengaku wartawan, melainkan keberanian untuk menjaga integritas dan kehormatan profesi.

Ia juga menegaskan bahwa aparat penegak hukum tetap memiliki kewenangan penuh untuk menindak siapa pun yang diduga terlibat dalam aktivitas ilegal, tanpa memandang klaim profesi. Profesi wartawan apalagi sekadar pengakuan sepihak sebagai wartawan tidak boleh dijadikan tameng, alat tawar, atau sarana intimidasi untuk melemahkan proses hukum.

“Negara hukum tidak boleh kalah oleh klaim, atribut, atau pengakuan sepihak. Jika ada oknum yang mengaku wartawan tetapi berdiri di sisi kejahatan, maka pers yang sesungguhnya wajib mengambil jarak dan bersikap tegas. Ini bukan soal keras atau lunak, melainkan soal menjaga batas antara profesi terhormat dan praktik menyimpang,” tegasnya.

Andi Firgi juga menyoroti fenomena lain yang kerap menjadi pembicaraan di kalangan jurnalis sendiri, yakni keberadaan oknum-oknum yang mengaku sebagai wartawan namun secara kapasitas dan etika tidak menunjukkan kompetensi jurnalistik yang memadai. Menurutnya, tidak sedikit pihak yang hanya bermodal kartu pers dan atribut media, tetapi miskin karya jurnalistik serta tidak menjalankan fungsi pers sebagaimana mestinya.

“Di internal komunitas pers, hal seperti ini bukan rahasia. Ada oknum yang lebih dikenal karena sering mempertontonkan simbol kartu pers, seragam, dan atribut daripada menghasilkan karya jurnalistik yang bernilai. Aktivitasnya lebih banyak terlihat di ruang-ruang informal seperti warung kopi, dengan sikap pamer kuasa dan merasa paling berpengaruh, seolah-olah profesi wartawan adalah panggung untuk menunjukkan superioritas pribadi,” ujar Andi Firgi.

Ia menegaskan bahwa secara intelektual, wartawan diukur bukan dari atribut yang dikenakan, melainkan dari kualitas karya, integritas, dan keberpihakan pada kepentingan publik. Ketika profesi pers direduksi menjadi sekadar simbol dan gaya hidup, apalagi disertai dugaan pembekingan aktivitas ilegal, maka yang terjadi adalah degradasi serius terhadap martabat jurnalistik.

Menurutnya, fenomena ini berbahaya karena menciptakan ilusi kekuasaan semu, baik di tengah masyarakat maupun di hadapan aparat penegak hukum, seolah-olah klaim sebagai wartawan dapat dijadikan alat tekanan. “Padahal, dalam negara hukum, yang dihormati bukan atribut, tetapi hukum dan kebenaran. Wartawan yang sesungguhnya tidak butuh pamer, karena legitimasi pers lahir dari karya dan integritas, bukan dari sikap petantang-petenteng,” tegasnya.

Pernyataan ini, lanjut Andi Firgi, merupakan sikap moral dan akademis DPD AWPI Kalimantan Barat untuk menegaskan bahwa kemerdekaan pers bukan kebebasan untuk melanggar hukum. Kebebasan pers hanya bermakna jika dijalankan dengan integritas, akal sehat, dan keberpihakan pada kepentingan publik. Setiap upaya menjadikan klaim sebagai wartawan sebagai tameng kejahatan adalah ancaman nyata bagi demokrasi dan harus ditolak secara terbuka oleh seluruh insan pers yang masih memegang teguh nilai profesionalisme.


Jurnalis: Okta

0Komentar

SPONSOR