Pontianak, KALBAR (SK) - 14 Juli 2025 “Kontrak Kolonial 1857 Tidak Sah sebagai Dasar Hukum Penegasan Awal Batas Wilayah atau Batas Daerah : Pulau Pengikik Harus Dikembalikan ke Rujukan Hukum Nasional dan Sejarah Hukum Adat dan Dokumen Hukum RIS , Pengakuan Kedaulatan 27 Desember 1949 dan Protokol Hukum Internasional 21 Desember 1949, sebagai penegasan awal wilayah Administratif Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi Riau saat ini.
Pendahuluan
Menyikapi kembali dimunculkannya dokumen kontrak kolonial Belanda tahun 1857 Yang menjadi penegasan awal wilayah Administratif Desa Pulau Pengikut Kecamatan Tambelan sebagaimana Pasal 20 ayat 8 Perda Kabupaten Bintan Nomor 19 Tahun 2007.
Permasalah berawal dalam subtansi Perda Kabupaten Bintan Nomor 19 Tahun 2007, khususnya Pasal 20 ayat (8), dari perspektif hukum tata negara, hukum administrasi negara, dan perundang-undangan NKRI. Kutipan Pasal 20 ayat (8) Perda Kabupaten Bintan Nomor 19 Tahun 2007 Batas Desa Pulau Pengikik Kecamatan Tambelan Kabupaten Bintan Provinsi Riau yang menyatakan "Batas Timur Kecamatan Tambelan berbatasan dengan Pulau Datok, Provinsi Kalimantan Barat.
Bahwa pernyataan norma diatas akan menimbulkan:
1. Konflik dengan Prinsip Penegasan Batas Wilayah dalam Sistem Hukum Nasional
Dalam bunyi Pasal 20 ayat 8 perda Kabupaten Bintan diatas dan untuk memperkuat ini kemudian dengan dokumen penaklukkan wilayah di zaman Kolonial, dan secara peraturan perundang-undangan penegasan batas menyatakan, bahwa penegasan wilayah tidak bisa menggunakan dokumen kolonial (asal dokumen) seperti peta Hindia Belanda atau istilah "onderhoorigheden", karena tidak sah dalam sistem hukum NKRI.
Perda Bintan menunjuk batas wilayah dengan istilah geografis yang tidak diatur dalam UU, PP, Permendagri, atau peta BIG, tetapi mengacu pada batas wilayah adat atau historis (misalnya menyebut "Pulau Datok" tanpa kejelasan yuridis administratif) Dan lampiran peta tidak sampai saat ini. Artinya: Pasal 20 ayat (8) Perda Kabupaten Bintan berpotensi cacat hukum jika penunjukan Pulau Datok (dan dengan itu mengecualikan Pulau Pengikik) didasarkan pada konsep atau peta warisan kolonial atau tanpa merujuk pada peta resmi BIG dan peraturan nasional lainnya.
2. Status Wilayah Seperti Pulau Pengikik Tidak Bisa Diatur Sepihak Lewat Perda
Dalam sistem otonomi daerah, perda tidak boleh menetapkan atau menguba hbatas wilayah antarprovinsi atau antarkabupaten secara sepihak, apalagi jika menyangkut wilayah yang masih disengketakan atau tidak jelas status administrasinya atau verifikasi batas antar provinsi Kalimantan Barat dengan Provinsi Riau. Implikasi hukumnya, karena sejak semula Pulau Pengikik secara historis berada dalam wilayah Kesultanan Pontianak dan atau Kalimantan Barat (dokumen DIKB sebelum 1950 27 Desember 1949 , Protokol 1 Desember 1949), maka perda dari Kabupaten Bintan tidak bisa sepihak mengklaim wilayah itu tanpa melalui proses penegasan batas wilayah oleh Kemendagri sesuai UU No. 23/2014 dan Permendagri No. 141/2017.
3. Status Hukum Wilayah Historis Sudah Digantikan UU NKRI
Dokumen itu juga menyebut bahwa kontrak kolonial telah gugur sejak Belanda mencabut kekuasaan kesultanan Riau Lingga pada Tahun 1911 dan Indonesia merdeka pada Tahun 1945. Maka: Wilayah historis seperti onderhoorigheden tidak relevan secara hukum untuk saat ini, karena penentuan batas wilayah harus didasarkan Pada hukum positif NKRI (lex lata), bukan berdasarkan dokumen historis atau peta kolonial (lex historica). Perda Kabupaten Bintan yang menunjuk Pulau Datok sebagai batas timur dengan kabupaten Bintan dalam ini Desa Pulau Pegikik dapat dinilai bertentangan dengan asas legalitas dalam hukum tata negara jika tidak merujuk pada peraturan nasional yang sah.
4. Permasalahan Kewenangan Perda
Perda adalah produk hukum daerah yang tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi atau kewenangan hukum administrasi Negara UU Nomor 14 Tahun 2011 Administrasi Pemerintahan dan juga peraturan perundang-undangan lain yang terkait , seperti: UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah UU No. 6 Tahun 2023 (Cipta Kerja), Undang Undang Pembentukan Provinsi Riau itu sendiri dan peraturan perundang-undangan khusus dalam hal ini Permendagri No. 141 Tahun 2017 tentang Penegasan Batas Daerah, Peta Rupabumi BIG, maka jika Perda Bintan menyebut batas yang tidak sesuai dengan dokumen resmi pemerintah pusat, dan dokumen hukum historis, maka bisa digugat ke Mahkamah Agung melalui mekanisme judicial review Perda terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau ditempuhkan dengan mediasi oleh pejabat yang berwenang.
Dengan demikian Perda Kabupaten Bintan Nomor 19 Tahun 2007 Pasal 20 ayat (8) tidak bisa dijadikan dasar sah untuk penegasan batas wilayah dengan Kalimantan Barat (termasuk Pulau Pengikik) karena:
a. Tidak merujuk pada dasar hukum nasional (UU, PP, Permendagri, dan Peta (BIG).
b. Berpotensi hanya memakai acuan historis atau kolonial, yang menurut hukum tidak berlaku lagi.
c. Bertentangan dengan prinsip hukum tata negara dan administrasi negara mengenai penegasan batas wilayah.
d. Melanggar prinsip hierarki peraturan perundang-undangan (lex superior derogat legi inferiori).
Analisis khusus Hukum secara Historis "Contract met den Sulthan van Lingga, Riouw en Onderhoorigheden, 1 December 1857" .Dokumen ini yang dijadikan rujukan oleh pihak tertentu dalam hal ini Pemerintah Daerah Kabupaten Bintan Provinsi Riau untuk menetapkan batas wilayah seperti Desa Pulau Pengikik, maka sebagai Anggota DPD RI Dapil Kalimantan Barat dan Sultan Pontianak Ke IX, saya menyatakan sikap tegas dan memberikan analisis hukum berdasarkan konstitusi dan hukum positif Indonesia.
I. ANALISIS HUKUM DAN PASAL TERKAIT
1. Kontrak 1857 Tidak Diakui dalam Sistem Hukum Nasional
Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945: “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Dalam negara hukum, sumber hukum yang sah hanyalah peraturan perundangundangan nasional, bukan warisan kontrak penaklukkan dimasa kolonial Belanda yang tidak lagi berlaku.
Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan: “Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri
atas: UUD NRI 1945, UU/Perppu, PP, Perpres, Perda...” Kontrak kolonial yang isi perjanjian penaklukan bukan termasuk hierarki hukum nasional, maka tidak bisa menjadi acuan legal untuk penegasan wilayah dan tidak selaras dengan Permendagri No. 141 Tahun 2017
2. Kontrak 1857 Cacat Sejak Dibubarkannya Kesultanan Riau-Lingga
Kesultanan Lingga-Riau dibubarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada
1911, dan seluruh hak kekuasaan wilayah diserap ke dalam pemerintahan kolonial pusat. Berdasarkan hukum internasional (Prinsip Rebus sic stantibus), perjanjian berakhir jika keadaan fundamental berubah drastis. Pembubaran sepihak oleh Belanda menggugurkan efek hukum kontrak 1857, bahkan sebelum Indonesia merdeka.
3. Penegasan Wilayah Harus Berdasarkan UU dan Permendagri Pasal 18B ayat (1) UUD NRI 1945: “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa...”Pasal 18 UUD NRI 1945: “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerahdaerah provinsi...”Penetapan batas daerah hanya dapat dilakukan berdasarkan UU pembentukan provinsi, bukan peta atau dokumen kolonial, jika ada peta kuno harus dilakukan verifikasi dan validasi hukum, Permendagri No. 141 Tahun 2017 hanya pedoman penegasan awal batas wilayah daerah, seharusnya mengacu regulasi yang sah: UU No. 9 Tahun 2022 tentang Provinsi Kalimantan Barat dan UU No. 25 Tahun 2002 tentang Provinsi Kepulauan Riau, dan Permendagri tentang Penegasan Batas Wilayah Nomor 141 Tahun 2001 hanya acuan pedoman penegasan awal yang perlu diverifikasi lebih lanjut. Perda No. 19 Tahun 2007 Bintan dengan subtansi yang tegas dari norma Pasal 20 ayat 8 Perda Nomor 19 Tahun 2007 menjadi titik masalah.
II. ANALISIS POSISI PULAU PENGIKIK DALAM KERANGKA HISTORIS DAN ADMINISTRATIF
Hukum
Pulau Pengikik secara historis berada pada jalur niaga Kesultanan Pontianak dan bagian dari Afdeeling Westerafdeeling van Borneo dalam Hindia Belanda.
Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945: “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.” Sengketa wilayah seperti ini tidak boleh hanya berdasar warisan kolonial, tapi harus berpijak pada prinsip keadilan, kesejahteraan masyarakat lokal, dan sejarah kultural.
III. PERAN DPD RI DALAM PENGAWASAN PENEGASAN WILAYAH
Sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, saya menegaskan bahwa: Pasal 22D UUD NRI 1945: “DPD RI dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan otonomi daerah...” Maka saya meminta Kemendagri, BIG, dan instansi terkait untuk: Meninjau ulang batas wilayah Pulau Pengikik, dengan melibatkan sejarah lokal dan kesultanan, Menghapus dasar-dasar hukum kolonial dalam proses administrasi wilayah NKRI, Mendudukkan kesultanan sebagai mitra budaya dan sejarah dalam penyelesaian wilayah adat.
IV. PERNYATAAN RESMI
“Saya, Sultan Syarif Melvin AlKadrie, S.H., dengan kewenangan saya sebagai Sultan Pontianak Ke IX di Istana Kadriah Kesultanan Pontianak dan Sebagai Anggota DPD RI Dapil Klimantan Barat, menolak segala bentuk penggunaan dokumen kontrak kolonial 1857 sebagai dasar hukum untuk penetapan batas awal wilayah Perbatasan Desa Pegingkit Kecamatan Tambelan Kabupaten Bintan Provinsi Riau saat inidebgdn provinsi Kalimantan Barat, karena Pulau Pengikik tidak dapat dipisahkan dari sejarah dan hukum nasional Indonesia. Penegasan wilayah wajib tunduk pada konstitusi, UU, dan prinsip keadilan sosial dalam hal ini penegasan awal sebagai wilayah Daerah Istimewa Kalimantan Barat yang saat ini wilayahnya menjadi wilayah Kalimantan Barat, sejak protokol 21 Desember 1949, yang merupakan lampiran resmi hukum internasional 27 Desember 1949 pengakuan kedaulatan Republik Indonesia.
Rekomendasi:
1) DPD RI mendorong sidang dengar pendapat dengan Kemendagri dan BIG terkait batas wilayah Pulau Pengikik.
2) Diperlukan Tim Kajian Khusus yang melibatkan ahli sejarah, geospasial, dan hukum tata negara.
3) Pemerintah harus menyusun kebijakan nasional untuk merevisi warisan batas kolonial yang bertentangan dengan identitas NKRI.
4) Analisis Hukum, bahwa Dokumen Kontrak 1857 adalah Produk Kolonial, Kontrak antara Pemerintah Hindia Belanda dan Sultan Lingga-Riau ini yang Disahkan melalui Besluit 9 Februari 1858 No. 3, Diberitahukan ke Parlemen Belanda dan Kabinet Inggris melalui ministeriële depeche tahun 1866, karena Karakter hukum dari dokumen ini adalah Kontrak yang merupakan perjanjian penaklukan (submission treaty) yang dibuat di bawah dominasi penjajah, bukan perjanjian bilateral yang adil. Tidak memiliki kekuatan hukum dalam sistem Republik Indonesia karena merupakan produk rezim kolonial yang telah dihapus dan Pembatalan Fungsi Hukumnys oleh Belanda Sendiri Tahun 1911 dan Kesultanan Riau-Lingga dibubarkan secara sepihak oleh Belanda pada tahun 1911, namun secara hukum seluruh efek hukum dari kontrakkontrak seperti dokumen 1857 secara de jure dan de facto gugur sejak saat itu sudah tidak berlaku lagi, berdasarkan Hukum Positif Indonesia Tidak Mengakui Kontrak Kolonial Sebagai Dasar Wilayah dan Penegasan batas wilayah di Indonesia mengacu pada:
Undang-Undang Pembentukan Provinsi (misalnya: UU No. 9 Tahun 2022 tentang Kalimantan Barat, UU No. 25 Tahun 2002 tentang Kepulauan Riau),
Permendagri dan Keputusan Presiden terkait batas daerah, Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) oleh BIG, Prinsip integrasi nasional dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia seperti dokumen lampiran protokol 21.
Desember 1949 (terlampir B1) dari dokumen Pengakuan kedaulatan Republik 27 Desember 1949 (Terlampir B2) dan Dokumen Perjanjian Renville dan Peta Militer Belanda 1948, setelah DIKB sudah diakui sebagai satuan kenegaraan berdiri sendiri otonom dengan wilayah terlampir , pulau Kalimantan dimasa kerajaan yang bergabung dengan Daerah Istimewa Kalimantan Barat 14 Mei 1947. (Bukti Terlampir B 3)
V. Posisi Kesultanan Pontianak dan Perspektif Sejarah Wilayah Administrasi Pemerintahan sebelum Bergabung Ke DIKB.
Sebagai Sultan Pontianak Ke IX , saya menegaskan bahwa: Wilayah Kesultanan Pontianak secara historis mencakup wilayah-wilayah pesisir Kalimantan Barat hingga ke pulau-pulau seperti Pulau Pengikik dan sekitarnya. Wilayah ini secara budaya, genealogis, dan hubungan niaga terikat kuat dengan masyarakat Melayu Kalimantan Barat. Oleh karena itu, klaim sepihak atas pulau pengikik besar dan kecil tersebut berdasarkan kontrak kolonial sangat tidak tepat, karena saat protokol 21 Desember 1949 Daerah Riau yang saat ini jadi bagian Propinsi Riau Kepulauan ikut persetujuan sama sederajat dengan Satuan kenegaraan berdiri sendiri Daerah Istimewa Kalimantan Barat yang wilayahnya saat ini menjadi wilayah provinsi Kalimantan Barat sesuai Undang Undang Pembentukan Kalimantan Barat sejak 1 Januari 1950
VI. Pandangan DPD RI dan Tuntutan Keadilan Wilayah Sebagai Anggota DPD RI, saya menyampaikan bahwa:
1. DPD RI Wajib Menjaga Keadilan Otonomi Daerah, dan DPD RI memiliki mandat konstitusional untuk mengawasi pelaksanaan otonomi daerah dan hubungan pusat-daerah (Pasal 22D UUD 1945). Konflik batas wilayah harus diselesaikan berdasarkan konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang sah, bukan warisan dokumen kolonial tentang dokumen penaklukan yang sudah terhapus oleh Pemerintah Hindia Belanda dan sudah menjadi bagian sejak awal Daerah Istimewa Kalimantan Barat.
2. Perlu Peninjauan Ulang Batas Wilayah Pulau Pengikik Kementerian Dalam Negeri dan Badan Informasi Geospasial (BIG) perlu meninjau ulang batas wilayah Pulau Pengikik dengan memperhatikan data geospasial, sejarah lokal, dan prinsip keadilan.Pendekatan yang melibatkan tokoh adat, sejarawan, serta pemimpin kesultanan, akan menciptakan rekonsiliasi dan harmoni wilayah.
Berikut ringkasan dokumen penegasan batas wilayah administratif di Indonesia, khususnya sengketa antara Kalimantan Barat dan Kepulauan Riau terkait Pulau Pengikik, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini.
VII.Regulasi dan Prosedur Penegasan Batas Daerah:
- Dokumen utama yang mengatur penegasan batas daerah di Indonesia adalah Permendagri Nomor 76 Tahun 2012 dan Permendagri Nomor 141 Tahun 2017.
Permendagri Nomor 76 Tahun 2012 memberikan pedoman umum, sementara Permendagri Nomor 141 Tahun 2017 menjelaskan secara rinci prosedur teknisnya, termasuk penggunaan metode kartometrik dan survei lapangan.
- Pasal 6 Permendagri Nomor 141 Tahun 2017 menjelaskan prosedur penegasan batas, menekankan pentingnya kesepakatan antar pemerintah daerah yang berbatasan, penggunaan dokumen hukum dan peta batas historis, serta mekanisme penyelesaian sengketa jika terjadi ketidaksesuaian. Kesepakatan tersebut harus dituangkan dalam dokumen tertulis yang ditandatangani oleh kepala daerah.
VIII. Analisis "Contract met den Sulthan van Lingga..." (1 Desember 1857):
- Dokumen ini merupakan perjanjian historis antara Pemerintah Hindia Belanda dan Kesultanan Lingga-Riau. Meskipun bisa dijadikan referensi dalam penentuan batas administratif, penggunaannya perlu hati-hati dan harus dianalisa secara historisyuridis, karena hanya merupakan perjanjian penaklukan, bukan penegasan batas wilayah.
- Dokumen ini perlu dikonfirmasi dan dibandingkan dengan dokumen dan peta kolonial lainnya, seperti peta topografis Belanda, Staatblad, dan arsip pemerintahan kolonial (khususnya Residen Pontianak) untuk memastikan keakuratan dan konsistensi informasi batas wilayah.
IX. Analisis Sengketa Pulau Pengikik:
- Sengketa Pulau Pengikik antara Kalimantan Barat dan Kepulauan Riau menjadi fokus utama analisis. Dokumen menekankan pentingnya melakukan rekonstruksi sejarah wilayah melalui berbagai sumber, termasuk perjanjian kolonial (baik antara Belanda dan Kesultanan Pontianak maupun Belanda dan Kesultanan Lingga-Riau), peta kolonial, dan verifikasi lapangan, tidak dilakukan klaim dengan Perda 19 Tahun 2007 Pasal 20 ayat 8 yang bertentang dokumen sejarah terbentuknya provinsi Riau Kepulauan itu sendirinyang diterbitkan secara resmi oleh kementerian berdasarkan hasil penelitian sejarah hukum.
- Analisis silang kontrak kolonial menunjukkan bahwa "Contract met den Sulthan van Lingga..." (1 Desember 1857) tidak secara eksplisit menyebutkan Pulau Pengikik sebagai wilayah Kesultanan Lingga-Riau. Sebaliknya, berbagai dokumen dan peta kolonial, termasuk "Topographische Kaart" dan Memorie van Overgave Residen Pontianak, menunjukkan Pulau Pengikik berada dalam yurisdiksi Keresidenan Pontianak (Kalimantan Barat). Data ini diperkuat oleh Risalah Gubernur Kalimantan No. 186/OPB/92/14 Tahun 1950.
- Dokumen ini juga membahas pembentukan Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) dan perannya dalam konteks penegasan batas wilayah. Dikatakan bahwa DIKB, yang diakui dalam Protokol Penyerahan Kedaulatan KMB 194921 Desember 1949 sebagai sumber hukum Internasional yang merupakan lampiran resmi dokumen Pengakuan Kedaulatan 27 Desember 1949 dimana Riau dan Dan DIKB menyetujui, dengan wilayah administratif pemerintahan sendiri sendiri dan tidak saling mengklaim secara sepihak dan masih tercatat dalam dokumen sejarah hukum sebagai penegasan awal wilayah provinsi masing masing dan khusus DIKB saat ini wilayahnya menjadi wilayah administratif provinsi dan batas wilayah propinsi Kalimantan Barat dengan provinsi Riau Kepulauan (Kepri), dan dokumrn Protokol hukum Internasional menjadi dasar sah pembentukan Provinsi Kalimantan Barat saat ini. Oleh karena itu, klaim Kepulauan Riau atas Pulau Pengikik dianggap lemah secara historis dan yuridis karena tidak didukung oleh bukti-bukti yang kuat.
X. Kesimpulan dan Rekomendasi:
- Secara historis dan yuridis, Pulau Pengikik dan pulau-pulau kecil di sekitarnya lebih dekat kaitannya dengan Kesultanan Pontianak dan Keresidenan Kalimantan Barat daripada Kesultanan Lingga-Riau atau masuk wilayah DIKB provinsi Kalimantan Barat.
- Permendagri No. 141 Tahun 2017 beserta perubahannya memberikan landasan hukum yang kuat bagi Kalimantan Barat untuk menegaskan kembali batas administratifnya, menggunakan dokumen historis seperti Protokol KMB 1949 dan peta kolonial sebagai bukti.
- Rekomendasi mencakup pengajuan penegasan batas resmi kepada Kemendagri, melibatkan BIG untuk survei lapangan dan peta koordinat, serta mempersiapkan kajian akademik dan legal opinion untuk memperkuat posisi Kalimantan Barat.
Dengan demikian konflik Desa Pulau Pengikik dan Provinsi Kalimantan Barat dan iklude Kabupaten Mempawah yang dahulu Kabupaten Pontianak dan Posisi Konstitusional Kalimantan Barat, saya sebagai Anggota DPD RI dan sebagai Sultan bersama Mentari Dalam Negeri Kesultanan Kadriah Pontianak menyatakan, bahwa Polemik lepasnya Pulau Pengikik Besar dan Kecil dari wilayah administratif Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, ke dalam wilayah Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau, menjadi isu serius karena sudah mendapat tanggapan langsung dari Gubernur Kalimantan Barat dan Wakil Gubernur Kalimantan Barat, Krisantus Kurniawan, sebagaimana diberitakan oleh Inside Pontianak pada 11 Juli 2025. Dalam pernyataannya, Wakil Gubernur menegaskan bahwa dirinya sedang mempelajari persoalan ini secara hati-hati dan menyatakan akan melawan secara hukum apabila terbukti secara historis bahwa Pulau Pengikik adalah milik Kalbar.
Kekuatan Historis dan Legalitas Wilayah, adalah menjadi Sikap Wakil Gubernur ini sepenuhnya sejalan dengan prinsip uti possidetis juris dalam hukum internasional, yakni bahwa wilayah baru harus mengikuti batas administratif pada saat kemerdekaan.
Secara historis dan administratif, Pulau Pengikik merupakan bagian dari Afdeeling Pontianak dalam Keresidenan Westerafdeeling van Borneo, Hindia Belanda. Wilayah ini kemudian menjadi bagian dari Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) berdasarkan Protokol Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949, dan akhirnya masuk dalam struktur Kabupaten Mempawah di Kalimantan Barat setelah Republik Indonesia menjadi negara kesatuan.
Dokumen sejarah ini membuktikan bahwa Pulau Pengikik tidak pernah menjadi bagian dari wilayah administratif Kepulauan Riau atau Sumatera Tengah. Maka, jika Pulau Pengikik dipetakan dalam wilayah Bintan berdasarkan peta turunan atau keputusan administratif, tanpa dukungan sejarah dan hukum yang sah, maka tindakan tersebut adalah cacat hukum dan dapat digugat.
Saya melihat secara seksama ,bahwa terjadi Penyelundupan Norma dan Cacat Prosedural, dan Permasalahan menjadi kompleks karena dalam Pasal 20 ayat (8) Perda Kabupaten Bintan Nomor 19 Tahun 2007, disebutkan bahwa batas timur Kabupaten Bintan adalah Pulau Datuk, bukan Pulau Pengikik. Namun dalam peta wilayah, justru disisipkan Pulau Pengikik sebagai bagian dari wilayah tersebut. Ini merupakan bentuk penyelundupan norma hukum (legal smuggling), karena terjadi perbedaan antara isi norma (teks pasal) dan pelaksanaannya (peta wilayah) atau penegasan awal tetang batas daerah antara kabupaten Mempawah dan batas dengan provinsi Kalimantan Barat, yang jelas patut diduga melanggar asas legalitas dan asas ketertiban administrasi negara, hasil pertemuan antara ketua DPRD Mempawah dan Menteri Dalam Negeri Kesultanan Kadriah Pontianak Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur yang mencatat bahwa terlebih lagi terungkap, terdapat berita acara batas wilayah antara Provinsi Kepulauan Riau dan Kalimantan Barat yang tidak melibatkan Kabupaten Mempawah sebagai pemilik sah wilayah tersebut. Padahal berdasarkan Permendagri No. 141 Tahun 2017, pelibatan kabupaten/kota yang bersangkutan adalah syarat mutlak dalam proses penegasan batas. Dengan demikian, berita acara tersebut tidak sah secara administratif, karena cacat prosedural dan melanggar Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), terutama asas partisipasi dan transparansi.
Berkaitan Kesiapan Kalbar: Langkah Konstitusional dan Administratif
Pernyataan Wakil Gubernur Kalbar menunjukkan sikap hati-hati dan taat konstitusi, karena menunggu "data valid sesuai histori" sebelum bertindak. Ini mencerminkan prinsip due process of law yang penting dalam penyelesaian konflik antarwilayah. Sekaligus menunjukkan bahwa Kalbar memahami bahwa penguasaan wilayah tidak hanya berdasar keputusan administratif, tetapi harus berdasar hukum historis dan konstitusional yang sah. Keputusan Mendagri No. 100.1.1-6117 Tahun 2022, yang mencantumkan pemutakhiran kode wilayah administrasi termasuk Pulau Pengikik dalam wilayah Kepulauan Riau, bukanlah keputusan konstitutif (penciptaan hak baru), melainkan bersifat administratif dan dapat dikoreksi jika bertentangan dengan sejarah dan hukum formal.
➢ Penutup
Posisi Kalimantan Barat dan Kepastian Hukum Dengan mempertimbangkan sejarah kolonial, status DIKB berdasarkan hukum internasional (Protokol KMB), UU pembentukan provinsi, asas legalitas dan prosedur administratif, serta asas tata negara, maka klaim Kalbar atas Pulau Pengikik memiliki dasar hukum yang sangat kuat. Sikap Wakil Gubernur yang akan “melawan” jika ditemukan dasar sah atas klaim tersebut merupakan bentuk pembelaan konstitusional atas wilayah provinsi, yang dapat diaktualisasikan dalam bentuk:
1. Surat Keberatan Resmi ke Kemendagri dan BIG;
2. Permintaan revisi kode wilayah dalam database nasional;
3. Pengajuan uji materiil ke Mahkamah Agung terhadap Perda Bintan No. 19 Tahun 2007;
4. Penyusunan Legal Opinion berbasis sejarah hukum dan perjanjian internasional;
5. Penyelesaian melalui Mahkamah Konstitusi apabila terjadi konflik kewenangan antar pemerintah daerah.
Sri Sundari
Editing : Redaksi
0Komentar