Caption :
 Sejumlah petani sawit dari Desa Asam Besar dan Batu Sedau, Kecamatan Manis Mata, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, mendesak Koperasi Tagari Utama Mandiri (TUM) Selasa (5/08). Foto. Ist, (SK
Ketapang, KALBAR, SaungKreasi.com - Sejumlah petani sawit dari Desa Asam Besar dan Batu Sedau, Kecamatan Manis Mata, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, mendesak Koperasi Tagari Utama Mandiri (TUM) untuk segera memberikan penjelasan terbuka terkait pengelolaan lahan plasma mandiri yang mereka miliki. Petani menuding pengurus koperasi tidak transparan, terutama menyangkut keuangan, hasil panen, dan penetapan anggota tambahan dari pemotongan lahan 30 persen. Selasa (5/08). 

Permasalahan mencuat setelah pergantian pengurus koperasi pada 2021, ketika Zulkifli Anom Jaya terpilih sebagai ketua. Sejak saat itu, petani mengaku tidak pernah lagi mengetahui perkembangan usaha koperasi, termasuk tidak adanya Rapat Anggota Tahunan (RAT) yang seharusnya digelar secara berkala.

“Sampai hari ini, kami tidak pernah tahu ke mana aliran dana dari hasil panen TBS (Tandan Buah Segar),” kata Apriansyah, mantan Kepala Desa Batu Sedau sekaligus anggota koperasi. Ia juga mengaku tidak pernah menandatangani nota kesepahaman (MoU) terkait kebijakan pemotongan lahan 30 persen untuk dijadikan plasma tambahan.

Caption :
Desakan Sejumlah Petani Terhadap Koperasi Tagari Utama Mandiri (TUM) untuk segera memberikan penjelasan terbuka terkait pengelolaan lahan plasma mandiri. Selasa (5/08). Foto. Ist, (SK). 
Menurutnya, penetapan anggota baru dari hasil pemotongan lahan dilakukan tanpa persetujuan pemilik lahan. “Nama-nama penerima manfaat dari 30 persen lahan itu pun dirahasiakan. Ini sudah menyalahi prinsip keterbukaan dalam koperasi,” ujarnya.

Keluhan juga datang dari Saleh, salah satu anggota koperasi yang memiliki 30 hektare lahan plasma mandiri. Ia mengaku belum pernah menerima hasil panen yang layak selama setahun terakhir. “Ada yang bahkan hanya menerima seribu rupiah. Karena itu, banyak petani memilih untuk mengelola sendiri lahannya atau melakukan enclaving,” katanya.

Upaya mediasi telah dilakukan di berbagai tingkatan, mulai dari tingkat desa hingga kabupaten, termasuk pertemuan dengan Bupati Ketapang Alexander Wilyo. Namun, menurut para petani, pengurus koperasi tidak menindaklanjuti saran dari berbagai pihak.

“Kasihan rakyat kecil. Ada yang meninggal tanpa sempat menikmati hasil sawitnya,” ujar Saleh.

Senada dengan itu, Kernadi, petani pemilik 11,39 hektare lahan, juga menuntut keterbukaan. Ia meminta koperasi segera melaksanakan RAT dan mempublikasikan data penerima hasil dari lahan 30 persen tersebut. “Kalau dua tahun berturut-turut tidak RAT, koperasi bisa dibubarkan sesuai undang-undang,” katanya.

Caption :
Sejumlah petani sawit dari Desa Asam Besar dan Batu Sedau, Kecamatan Manis Mata, menggelar Rapat terbuka terkait pengelolaan lahan plasma mandiri yang mereka miliki. Petani menuding pengurus koperasi tidak transparan, terutama menyangkut keuangan, hasil panen, Selasa. (5/08). Foto. Ist, (SK) 
Sementara itu, Melodi, petani lain dari Batu Sedau, mempertanyakan ke mana hasil panen lahan 30 persen disalurkan. “Perusahaan mengaku sudah membayar ke koperasi. Tapi koperasi menyampaikan ke siapa?” ujarnya.

Persoalan ini juga mulai merambah ranah hukum. Saleh, yang berusaha mengambil kembali pengelolaan lahannya, justru dilaporkan ke Polres Ketapang oleh pengurus koperasi. Para petani berharap pihak kepolisian bersikap adil dan berpihak pada masyarakat kecil.

Hingga berita ini diturunkan, belum ada keterangan resmi dari pengurus Koperasi TUM maupun perusahaan mitra, PT ISK/HSL Cargill Group, terkait tuntutan petani maupun laporan hukum terhadap Saleh.


Sumber : Petani Sawit Desa Asam Besar dan Batu Sedau 

Editing : Redaksi